KEKAYAAN SEJARAH JALUR REMPAH DI SUMATERA BARAT - Helma Fitri, M. Hum. (Pamong Budaya)
Dirjen Kebudayaan sejak beberapa tahun terakhir telah berupaya menggaungkan “Jalur Rempah” sebagai salah satu identitas dari kekayaan Sejarah Nusantara. Upaya ini dilakukan agar dunia internasional juga mengakui kebesaran sejarah Jalur Rempah Indonesia seperti pengakuan dunia terhadap sejarah “Jalur Sutra” yang menjadi identitas dari sejarah bangsa China. Berbagai upaya dilakukan oleh Dirjen Kebudayaan untuk mencapai tujuan ini, salah satunya dengan gencar melakukan pengkajian dan penulisan tentang Jalur Rempah di Nusantara. Hasil kajian dan penulisan tersebut telah menghasilkan berbagai bentuk karya tulis ilmiah termasuk buku.
Buku-buku yang dihasilkan baik yang muncul setelah upaya “peng-angung-an” Jalur Rempah ini, maupun yang hadir jauh sebelum usaha tersebut dilakukan, lebih banyak mengupas secara detail tentang sejarah kebesaran jalur rempah (baik sebagai penghasil rempah maupun sebagai jalur perdagangan rempah) di kawasan timur Indonesia. Ternate, Tidore bahkan Maluku dijuluki sebagai “Kepulauan Rempah”. Padahal dari lima rempah yang menjadi primadona dunia, Maluku hanya menjadi penghasil terbaik dari Cengkih seperti yang diungkapkan oleh Linschoten (sejarawan asal Belanda) yang menyebutkan bahwa “Maluku tidak memiliki rempah-rempah lain selain cengkih. Akan tetapi, dengan jumlah cengkih yang melimpah, Maluku dapat memenuhi kebutuhan cengkih untuk seluruh dunia”.
Jika kita telusuri lebih jauh, kawasan barat Indonesia khususnya Sumatera memiliki jumlah rempah yang lebih beragam dibandingkan bagian timur Indonesia. Lada, kasia/kulit manis, pala, kapur barus merupakan rempah yang banyak dijumpai di Pulau Sumatera termasuk Sumatera Barat. Selain sebagai penghasil rempah, di kawasan barat ini (Sumatera) pelabuhan-pelabuhan seperti Barus, Pariaman, Padang dan Tiku merupakan pelabuhan-pelabuhan penting dalam sejarah perdagangan rempah. Namun pengkajian dan penulisan tentang sejarah Jalur Rempah di pantai barat Sumatera khususnya di Sumatera Barat sangat minim ditemukan. Dinas Kebudayaan pada tahun 2021 bekerjasama dengan Prof. Gusti Asnan dan DR. Nopriyasman dari Universitas Andalas telah memulai usaha pengkajian, penelitian dan penulisan tentang sejarah Jalur Rempah di Sumatera Barat.
Kerjasama awal ini baru berupa pengkajian atau penelitian yang merekapitulasi tulisan-tulisan yang pernah hadir tentang Jalur Rempah di Sumatera Barat. Ironisnya, hasil kajian berupa buku yang berjudul Bibliografis Jalur Rempah di Sumatera Barat ini, memberikan fakta bahwa belum adanya satu kajian khusus, baik berupa buku atau artikel mengenai rempah dan dunia rempah Pantai Barat Sumatera/Sumatera Barat. Ketiadaan kajian khusus ini, sesungguhnya membuka peluang bagi para peneliti, sejarawan, dan peminat sejarah untuk mengisi kekosongan tersebut. Hadirnya karya khusus, sebaiknya berupa buku, mengenai rempah dan dunia rempah Pantai Barat Sumatera/Sumatera Barat, memang sangat dibutuhkan. Kehadiran karya khusus itu akan menghadirkan informasi Pantai Barat Sumatera/Sumatera Barat adalah juga daerah rempah dan rempah sangat besar artinya bagi perubahan kawasan ini.
Dari 46 karya tulis (35 buku dan 11 artikel) yang dijadikan bahan penulisan buku di atas tidak ada yang menjadikan Jalur Rempah Sumatera Barat sebagai kajian utamanya. Pembahasan Jalur Rempah hanya secara umum saja tanpa ada pembahasan detail seperti buku tentang Jalur Rempah di Maluku diantaranya buku berjudul Jalur Rempah Nusantara-Maluku, Pulau Rempah Nusantara yang Mendunia, kemudian buku berjudul Kepulauan (Maluku) Rempah-Rempah, juga buku berjudul Kisah di Negeri Rempah serta beberapa buku lainnya yang mengupas detail tentang rempah dan perdangangan rempah di Maluku.
Padahal berbagai bukti sejarah memberikan indikasi bahwa Sumatera Barat adalah daerah atau wilayah yang terlibat secara langsung dalam jalur niaga rempah, baik sebagai daerah penghasil rempah maupun sebagai jalur perdagangan rempah. Pentingnya Sumatera Barat dalam sejarah Jalur Rempah dapat kita buktikan dengan tidak sedikitnya penulis baik sejarawan atau bukan, menulis tentang Jalur Rempah di Sumatera Barat. Hanya saja, seperti yang telah disampaikan di atas, belum ada tulisan yang ada belum mampu menghadirkan secara lebih lengkap dan utuh baik dari aspek sosial, ekonomi, politik budaya rempah dan dunia rempah Pantai Barat Sumatera/Sumatera Barat. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi buku atau tulisan guna mengungkapkan keberadaan dan dunia rempah itu di daerah/kawasan tersebut.
Sebagai jalur penting perdagangan rempah banyak sekali pelabuhan di Sumatera Barat yang menjadi pusat perdagangan rempah khususnya di pantai barat Sumatera. Sementara sebagai penghasil rempah kawasan pedalaman Sumatera Barat khususnya daerah di aliran sungai Batang Hari menjadi daerah-daerah penting dalam sejarah rempah di Sumatera Barat. Gusti Asnan dalam bukunya yang berjudul Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera menyebutkan, bahwa kondisional daerah pedalaman Sumatera Barat yang berbukit-bukit, berlembah, berngarai, dan sebagainya, amat mendukung bagi dibudidayakannya berbagai ragam tanaman rempah. Berikut ini akan dijelaskan posisi penting Sumatera Barat dalam sejarah Jalur Rempah Nusantara.
1. Sumatera Barat sebagai Jalur Niaga Rempah penting di Pantai Barat
Seperti yang telah dibicarakan padabagian atas tulisan ini, Sumatera Barat telah memiliki pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota dagang penting dalam interaksi perdagangan Internasional. Tiku, Pariaman dan Padang telah sejak dulu menjadi persinggahan para pedagang internasional bahkan sebelum kedatangan VOC. Seperti datangnya para pedagang India (kelompok glide semacam persekutuan dagang), dalam beberapa catatan sejarah sudah memasuki kota Padang dan Pariaman sejak abad ke IX. Hal ini pernah diungkapkan oleh dua Sejarawan besar Sumatera Barat yaitu Mestika Zed dan Gusti Asnan. Bukti sejarah dari narasi tersebut adalah masih ditemukannya peradaban keturunan India (orang keling) masih terlihat kuat di beberapa daerah di Sumatera Barat.
Bangsa asing berikutnya yang sudah datang ke Sumatera Barat sebelum VOC adalah para pedagang Arab lewat jalur pantai timur via Kerajaan Siak yang memiliki hubungan dengan Minangkabau dan Penang di Semenanjung Malaka. Selanjutnya para pedagang China juga menjadi bangsa asing yang memberikan warna dalam sejarah perdagangan internasional di Sumatera Barat. Bahkan pada periode berikutnya VOC memanfaatkan jalur dagang yang dilakukan China ke pedalaman Sumatera Barat sebagai akses masuk bagi mereka untuk mencapai pedalaman Minangkabau.
Bangsa asing yang mencapai Sumatera Barat ini, masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Pariaman, Tiku, dan Padang. Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah satu pelabuhan di Kota Padang yang sangat penting artinya dalam sejarah perdagangan pribumi dan bangsa asing tersebut. Pelabuhan yang sebelumnya bernama Emmahaven ini dibangun pemerintah kolonial Belanda antara 1888 sampai 1893. Pelabuhan merupak pelabuhan terbesar sebagai kota dagang di Sumatera. Telur Bayur menjadi pintu masuk dan keluarnya aktifitas perdagangan rempah yang tidak hanya berpengaruh di Sumatera Barat tapi juga sangat mempengaruhi jalur perdagangan rempah Nusantara.
2. Sumatera Barat sebagai penghasil rempah terbaik di Sumatera
Pedalaman Sumatera Barat memiliki rempah-rempah unggulan yang menjadi andalan perdagangan internasional. Rempah-rempah dari Sumatera pun pada umumnya menjadi daya tarik karena tidak bisa ditemukan di tempat lain. Jenis rempah tersebut adalah gambir (Uncaria), gaharu, dan kayu manis yang merupakan komoditas penting dan ditemukan di kawasan Minangkabau, yang meliputi Sumatera Barat, Bengkulu, dan separuh daratan Riau.
Lada menjadi rempah yang cukup terkenal di Minangkabau dalam perdagangan internasional pada masa sejarah Jalur Rempah. Dalam bukunya berjudul Sumatera Barat Plakat Panjang, Rusli Amran menyebutkan bahwa saat kerajaan Aceh mencapai puncaknya sekitar abad 16 sampai 17, mereka memonopoli perdagangan lada. Ia juga menyebutkan bahwa lada yang ditanam di Sumatera Barat dikirim ke Aceh lalu dijual pada para pedagang asing. Selain Rusli Amran penulis lain yang menyebutan bahwa lada banyak di temukan di Sumatera Barat adalah Colombijn dalam bukunya yang berjudul Paco-Paco Kota Padang. Dalam buku tersebut Colombijn menyebutkan Dalam perjanjian Painan (1663), pedagang perantara Minang menawarkan monopoli lada dan emas sebagai imbalan atas perlindungan Belanda untuk mereka terhadap Aceh.
Pentingnya lada yang paling awal dituliskan oleh Eschel-Kroon yang menempatkan lada sebagai komoditas perdagangan Sumatera Barat nomor dua setelah emas. Ia kemudian melanjutkan bahwa Beberapa daerah atau kota pantai di bagian selatan Sumatera’s Westkust yang dikatakannya sebagai daerah penghasil dan sekaligus merupakan pelabuhan lada adalah Indrapura, Palangki, Batang Kapas, Pulau Cingkuak, dan beberapa nagari di selatan kota Padang. Penduduk membudidayakan lada di kebung-kebun mereka.
Selain lada, Sumatera Barat juga terkenal sebagai penghasil gambir dengan kualitas terbaik. Dobbin ini aslinya berjudul Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatera 1784-1847 menyebutkan tanaman rempah yang menjadi andalan para petani Minangkabau adalah lada dan gambir.
Selain bangsa asing yang telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini, Amerika ternyata menjadi bangsa asing yang tertarik dengan rempah yang ada di Sumatera Barat. James W Goud dalam buku berjudul American in Sumatera membahas tentang kedatangan dan ketertarikan Amerika terhadap rempah yang dihasilkan oleh Sumatera Barat. Ada sejumlah komoditas dagang yang dicari/dibutuhkan saudagar Amerika dari Sumatera Barat, tiga diantaranya adalah kasia/kulit manis, buah pala, dan cengkeh. Ia bahkan mengklaim bahwa daerah pedalaman sekitar Padang Panjang dan Bukittingi, sebagai daerah penghasil utama kulit manis di Sumatera. Umumnya kulit manis Sumatera Barat dikirim ke Amerika melalui Batavia dan Negeri Belanda.
Kualitas terbaik dari kulit manis di Sumatera Barat juga diungkapkan oleh Jan Jacob Hollander dalam bukunya yang berjudul Handleiding bij de Beoefening der Land- en Volkenkude van Nederlandsch Oost Indie. Ia menyebutkan bahwa kulit manis merupakan salah satu rempah utama yang ditemukan di Sumatera Barat.
Kesimpulan
Upaya Dirjen Kebudayaan dalam menjadikan “Jalur Rempah” sebagai salah satu ikon sejarah di Indonesia yang diakui dunia internasional layaknya “Jalur Sutra” yang telah menjadi ikon bagi sejarah bangsa China. Sayangnya pengkajian dan penulisan Jalur Rempah saat ini masih sangat terfokus pada kawasan Indonesia bagian timur. Peran pantai barat Sumatera khususnya Sumatera Barat belum terjamah secara detail. Padahal banyak sejarah penting terkait Jalur Rempah di Sumatera Barat baik sebagai jalur perdagangan maupun sebagai daerah penghasil rempah dengan kualitas terbaik.
Hal ini lah yang menarik banyak bangsa asing datang ke Sumatera Barat, untuk mencari rempah-rempah. Rempah yang terkenal berasal dari Sumatera Barat dengan kualitas terbaik diantaranya lada, gambir, kulit manis dan cengkih. Klaim ini dibuktikan oleh banyak sekali tulisan-tulisan dari para penulis baik penulis pribumi bahkan penulis asing. Sangat terbuka kesempatan untuk mengkaji serta melakukan penelitian mendalam tentang Jalur Rempah di Sumatera Barat. Kajian awal tentang ini sudah dimulai dengan penulisan buku Bibliografis Sejarah Jalur Rempah oleh Prof. Gusti Asnan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Sumbar tahun 2021.
---------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Mestika Zed, Kota Padang Tempo Doeloe : Zaman Kolonial, (Padang: PKSBE, 2006)
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatra, (Jogjakarta: Ombak, 2007)
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
Freek Colombijn, . Paco-Paco (Kota) Padang Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006)
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Daerah. Minangkabau 1784-1847. (Depok: Komunitas Bambu, 2008)
James W Goud, American in Sumatera, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1961)
Jan Jacob Hollander, Handleiding bij de Beoefening der Land- en Volkenkude van Nederlandsch Oost Indie (Deel I), (Breda: Broese & Comp., 1895)