Adaik Laku, Pusako Kato
Berkaca pada kehidupan yang makin hari dirasa kian ruwet. Ditengah berbagai perubahan yang melanda. Tanpa disadari telah mengubah prilaku dan gaya hidup. Hubungan kekerabatan dirasa mulai dirasa longgar dilanda sikap individual yang makin menggejala. Tuturan dalam indahnya susunan kata makin sulit ditemukan. Tejebak dalam carut marut perdebatan yang tak berkesudahan. Gejala kemanusiaan yang tengah menggejala, telah disadari sejak dini oleh wangsa Minangkabau. Kekuatan daya pikir yang melahirkan ribuan idiom dan pepatah sebagai antisipasi dalam membangun kesadaran menghadapi arus perubahan. Berbagai pengaruh dalam persinggungan kebudayaan yang tak terhindarkan mesti disikapi dengan arif. Budaya Minangkabau juga rentan terhadap hal itu. Dan potensi menjadi kultur yang labil ditengah carut marutnya nilai kemanusian yang semakin absurd. Walau sedari awal telah terbangun kesadaran yang demikian, “sakali aia gadang sakali tapian berubah”. Namun itu tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan tindakan nyata dan lingkaran prilaku yang positif.
Kita tentu tidak boleh berhenti atau hanya lena pada keindahan kata. Berbagai lapis makna yang terkandung dalam ajaran pepatah mesti dibongkar. Agar tak larut dalam nostalgia. Bahwa Minangkabau yang terkenal dengan keindahan, dan kekuatan adatnya, Tidak keropos mentalitas wangsanya. Membangun kesadaran saja tanpa melakukan tindakan yang jelas tentulah tidak cukup. Bentuk dan fisik boleh berubah sesuai dengan alamnya. Namun budi pekerti, sikap yang baik akan abadi dalam prilaku dan tuturan kata.” Adaik laku, pusako kato”. Wacana utopis yang sulit terujud.
Apatah lagi yang menjadi milik Orang Minangkabau selain kehalusan tutur dan indahnya budi pekerti. Mulut manis kecindan murah. Tuturan kata yang tertata rapi dalam rumusan kato nan ampek. Sebagai pembeda dalam struktur pergaulan. Menjelaskan dengan siapa lawan bicara. Dengan kekuatan kata telah terbangun kendali silaturahmi dalam waktu yang lama. Lautan budi semakin tak terselami dalam kualitas perkataaan. Nostalgia peradaban. Yang kian kikis ditengah krisis nilai yang melanda kemanusian. Tak ditemukan lagi basi basi dalam tuturan yang indah. Mudahnya memperalat kata dalam kebohongan. Kesakralan kata telah diperalat sebagai pemanis bibir dalam kepentingan. Tuturan tak lagi menjadi cermin bagi kejujuran.” Kato dahulu kato batapati kato kudian, kato bacari”.
Pada suatu masa Minangkabau telah menyiratkan kehalusan budi dalam prilaku dan budi pekerti. Menjaga silaturahmi berakhlak mulia sebagai karakter. Suka menghormati orang yang lebih tua. Santun tehadap teman sebaya. Memberi rasa sayang pada yang lebih kecil dan bersikap mawas diri terhadap ipar dan besan.“Adaik laku”, menjadi cerminan hakiki kepribadian diri yang diungkapkan dari tempat yang paling dalam sebagai kemulian hati. Megahnya berbagai prosesi dalam simbol-simbol adat akan menjadi perayaan yang hambar. Menjadi citra semu yang tak jelas. Jika tidak dibarengi dengan kemulian akhlak laku. Adaik laku menjadi penyangga nilai dalam sistem yang paling hakiki dalam perjalanan kehidupan. “Tajua tabali,” dalam interaksi yang penuh kejujuran. “Lamak dek awak katuju dek urang,” menjadi wujud dari indahnya silaturahmi kemanusiaan.
Ditulis Oleh: Syuhendri, M. Sn Dt. Siri Marajo
Pamong Budaya Sumatera Barat