Panjek Sagu Panjek Sigai


08 Oktober 2019 10:02:02 WIB

Tumbuhan sagu identik dengan Indonesia belahan timur karena tumbuhan tersebut menjadi makanan pokok mereka.  Di rimba Minangkabau hampir diseluruh kenagarian juga memiliki tanaman ini. Ada dua jenis tumbuhan sagu yakni sagu rumbio, Jenis sagu menghasilkan tepung dari batangnya. Tepung sagu dapat diolah menjadi berbagai macam penganan seperti karupuak sagu, kalamai sagu dan lompong sagu yang sempat  dipopulerkan oleh Eli Kasim melalui nyanyian minang di era 70-an. Jenis yang satu lagi dinamakan dengan sagu anau, jenis ini menghasilkan gulo anau ( gula aren) yang menjadi kebutuhan masyarakat sebagai pelengkap masakan. Disamping itu batangnya dimanfatkan untuk berbagai macam alat pertukangan, pagar rumah dan kebutuhan lainnya.
Adapun sigai sejenis alat yang terbuat dari sebatang pohon bambu yang berfungsi sebagai tangga, pada masing-masing ruas bambu di lobangi lalu dimasukkan sepotong kayu sebagai pijakan kaki. Sigai tersebut panjangnya mencapai pucuk enau untuk memudahkan pengambilan  manisan (nira) sebagai bahan baku gula enau. Mamanjek Sigai merupakan jalan pintas untuk menuju puncak.
Panjek sagu panjek sigai merupakan pameo dalam tradisi Minagkabau, menjadi sinyal dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan berbagai sikap ambisius yang dimiliki oleh manusia. Sikap ambisius dalam kehidupan kalau dicermati erat kaitannya dengan persoalan pangkat dan jabatan, disamping keinginan lainnya. Menjalani hidup dengan mulia adalah tujuan utama dari ajaran adat Adat Minangkabau. Kemuliaan akan makin bertambah bila berhasil mencapai sesuatu sesuai dengan jalannya atau bila suatu saat seseorang berhasil mencapai sesuatu, atau dianugrahkan sebuah pangkat dan jabatan, maka hal yang demikian merupakan sebuah tanggung jawab yang diamanahkan oleh Tuhan. Tidak dengan memakai jalan pintas laiknya orang mamanjek sigai demi segalon manisan.
Para petani berdendang ketika mamanjek sigai, dendangan itu bermaksud agar pohon enau jadi terhibur sehingga  manisannya mengalir makin banyak.  Demikian juga halnya para pemburu jabatan, mereka  mamanjek sigai juga sambil berdendang  demi meraih berbagai posisi dan jabatan yang di incar. Dendangnya macam-macam dari saling memfitnah, menjelek-jelekkan orang lain sampai tega membongkar aib orang  demi kepentingan sesaat dan keuntungan pribadi. Sudah jamak terjadi dalam  setiap momen pergantian pimpinan di suatu instansi atau lembaga, maka para pemanjat sigai kasak- kusuk memperebutkan berbagai posisi yang ingin diraihnya. Tak penting apakah jabatan itu cocok atau tidak, apakah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau tidak. yang penting sigai ini dipanjat terlebih dahulu. Soal sigainya bisa patah karena berebut naik, itu soal belakangan. Berbagai macam cara dilakukan untuk meraih jabatan ini, dari berpura-pura rajin masuk kantor, tiap hari duduk didepan pintu atasan  sekedar setor muka dan setor duit tentunya.
Ketika para petani mamanjek sigai mengambil manisan dari enau yang mereka sadap, lalu mereka memberikan kasih sayang pada pohon enaunya dengan memelihara dan menjaganya sampai enaunya kembali menghasilkan manisan. Berbeda dengan para pemanjat sigai yang berebut memanjat demi jabatan dan berbagai posisi, mereka cenderung mengabaikan, melupakan batang disandari. Mereka akan menghisap sampai habis batang tempat mereka bersandar sehingga batang tersebut kehilangan daya hidup, dapat menyebabkan mereka kehilangan penopang. Akhirnya terjungkal.
Ditulis Oleh:
Syuhendri, M.Sn
Pamong Budaya Sumatera Barat