SAF Sebagai Ajang Pewarisan Nilai Budaya, Sebuah Renungan


20 September 2019 14:49:03 WIB

Festival Silek yang digadang-gadang sebagai ajang pelestarian salah satu kearifan lokal Minangkabau oleh Pemprov Sumbar melalui even SAF (Silek Art Festival) baru saja usai. Sejatinya kegiatan ini telah dilakukan secara marathon pada beberapa daerah yang mengikutinya. Kegiatan itu diawali dengan pembukaan (open ceremony) di Padang pada tanggal 19 Agustus 2019 dan ditutup di Kabupaten Agam pada tanggal 31 Agustus 2019.
Even tahunan ini esensinya adalah program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Platform Indonesiana melalui Dirjen Kebudayaan. Program kementrian ini sedianya dibuat dengan tujuan yang baik dan berdaya guna bagi masyarakat dalam memajukan kebudayaannya. Sasaran dari Indonesiana adalah peningkatan kualitas tata kelola penyelenggaraan kegiatan kebudayaan,  Indonesiana juga berfungsi untuk mendorong penguatan ekosistem kebudayaan" ujar Tim Bidang Kurasi, Produksi dan Pendampingan Indonesiana Heru Hikayat di Jakarta (dalam m.antaranews.com, edisi selasa 28 Agustus 2018).
Dalam Praktiknya ada beberapa Provinsi yang mengajukan proposal ke pusat untuk ikut ambil bagian dalam program Indonesiana. Hanya 9 Provinsi yang lolos menjadi mitra Dirjen Kebudayaan dari 28 Provinsi yang mengajukan proposal Festival. Sumbar termasuk salah satu daerah yang lolos dalam verifikasi Kemdikbud.
Pemrov Sumbar melalui Dinas Kebudayaan dipercaya selama 3 tahun menjadi perpanjangan tangan pusat dalam mendukung program Indonesiana. Dinas Kebudayaan memilih Silek sebagai icon yang akan di festivalkan. Pemilihan silek ini berdasarkan asumsi bahwa silek merupakan warisan budaya dan merupakan kearifan lokal Minang (local wisdome) yang menyebar pada hampir seluruh daerah kabupaten kota yang ada di Sumbar. Silek memiliki filosofi dan nilai-nilai budaya yang kuat bagi orang Minang dalam menjalani hidup dan kehidupannya baik dengan sesama manusia, dengan alam sekitar dan terutama hubungannya dengan Tuhan sang pencipta. Bagi orang Minang, tentunya sudah lazim dengan pepatah "Silek dilahia mancari kawan, dibathin mancari Tuhan” (silek pada zahirnya mencari kawan atau teman dan pada bathinnya mencari Tuhan).
Hal senada juga diungkap oleh Gubernur Sumbar Irwan Prayitno pada pembukaan SAF 2018 silam. Menurutnya, "Gerakan Silek menggambarkan karakter kepribadian orang Minang dalam menjaga harga diri, martabat untuk bertahan menjalani kehidupan. Silek juga syarat dengan keimanan Ketuhanan, yang setiap gerak memiliki filosofi kekuatan alam mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
Dua tahun sudah SAF dilaksanakan di Sumbar, namun pertanyaannya Apakah festival silek ini sudah berdaya guna bagi masyarakat itu sendiri ? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya dapat dilihat dari pengamatan yang dilakukan setelah ”alek silek” ini selesai dilaksanakan. Apakah Festival silek ini sudah mampu menggugah kesadaran akar rumput untuk kembali ber "silek" ?
Dari segi kuantitas dapat dilihat apakah jumlah sasaran silek yang ada bertambah dari jumlah sebelumnya. Apabila terdapat penambahan jumlah sasaran silek yang signifikan, maka dapat dikatakan SAF sebagai pemicu semangat bersilek cukup berhasil. 
Pertanyaan berikutnya yang mesti dicari jawaban kongkritnya adalah apakah pelaksanaan SAF ini benar-benar sudah dilaksanakan dengan gotong royong dan melibatkan semua pihak terutama masyarakat dan komunitas murni silek itu sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini dapat ditemukan sebelum acara puncak dilakukan. Jika dalam perencanaannya melibatkan semua stakeholder yang kompeten baik secara substansi dan kebijakan yang ada di internal pengelola even ini tentu bisa diasumsikan bahwa kegiatan ini sudah melalui proses perencanaan yang standar.
Pertanyaan lainnya yang perlu dijawab adalah segala sesuatu yang melekat dengan silek sebagai unsur kebudayaan dalam sistem kesenian adalah dalam hal pelibatan seniman dan budayawan. Seniman dan budayawan mana sajakah yang dilibatkan? Tuo-tuo silek mana sajakah yang kita ajak dalam berdiskusi?? Sehingga kita mengerti tentang apa masalah yang mereka hadapi dalam mengembangkan silek itu sendiri. Dari segi pelaksanaannya, apakah sudah sesuai dengan arahan pusat dalam membangkitkan kembali nilai-nilai luhur bangsa ? Apakah Festival silek ini sudah mampu menggugah kesadaran akar rumput untuk tidak hanya kembali ber "silek", mencintai silek, mempelajari silek. Akan tetapi sampai pada mendalami makna yang terkandung dalam silek itu sendiri yang kaya dengan nilai-nilai dan falsafah kehidupan.
Masih banyak lagi setumpuk pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur jika kita benar-benar ingin menguji faedah dari kegiatan yang telah dilaksanakan.
Melalui instrumen yang terukur  tentu akan dapat diberikan jawaban terhadap persoalan yang ada, sehingga pelaksanaan SAF tahun-tahun mendatang akan terlaksana dengan lebih baik dan memiliki implikasi kepada masyarakat di akar rumput sebagai salah satu unsur terpenting dari ekosistem silek itu sendiri.
Pembenahan unsur-unsur lain sebagai penunjang eksistensi silek adalah hal penting menjadi perhatian kita, umpamanya tentang pemahaman silek sebagai alat untuk transmisi nilai-nilai luhur Minangkabau dengan segala filosofi yang terkandung di dalamnya. Ini harus digali dan dikaji secara mendalam dan komprehensif secara akademik maupun non akademik.
Berikutnya peningkatan peran media sebagai alat untuk pembentukan opini dan sarana ekspresi kebudayaan perlu diberikan ruang sehingga dapat bersinergi dengan pemerintah sebagai fasilitator.
Peran lembaga-lembaga non pemerintah sebagai mitra strategis dalam menumbuh kembangkan silek ditengah-tengah masyarakat sangat penting dilakukan baik secara moril maupun materil.
Pada  akhirnya niat baik pemerintah dalam memajukan kebudayaan ini dapat terwujud dengan pelibatan semua pihak yang berkompeten. Silek sebagai kearifan lokal Minangkabau akan mampu memperbaiki kualitas nilai-nilai kemanusian (dilahia silek mancari kawan) dan peningkatan kualitas nilai-nilai ketuhanan (dibathin silek mancari Tuhan). Walhasil, silek sebagai kearifan lokal Minangkabau suatu saat akan menjadi antitesa terhadap permasalahan sosial yang ada. Pada muaranya tentu akan tercipta masyarakat yang humanis, memiliki karakter yang kuat, solidaritas dan nilai-nilai religius yang tinggi. Semoga.
Ditulis oleh:

Masrizal Rajo Basa

Pamong Budaya Sumatera Barat